Saat entri data-data siswa baru di sekolah, kami sempat bergurau dengan teman-teman guru dan pegawai soal nama anak saat ini. Nama-nama mereka sangat beragam, bahkan kadang susah dibaca. Maklum, nama-nama mereka memakai beragam bahasa mulai dari Arab, Inggris, Perancis, Turki, Ibrani dan entah apalagi yang kita tidak tahu asal-usul bahasa, dan apalagi artinya.
Meski hanya satu dua anak yang bukan dari suku Jawa, hampir tidak ada anak yang menggunakan nama Jawa, bahkan nama-nama yang masih biasa dipakai oleh orang tuanya. Dari 80 siswa baru, tercatat kurang dari 10 anak yang sebagian namanya menggunakan Jawa, seperti Laras dan Bagus, sedangkan nama Slamet, Waryono, Karto, atau Parjo sama sekali tidak ada.
Mayoritas anak menggunakan “nama-nama asing” seperti David, Victor, First Aurora, Zielda, Zahwa, Angle, Rachel, Brian, atau nama-nama selebritis seperti Valentino Rossi, Nikita, Laura dan Zidane, tapi belum ada yang memakai nama Mike Tyson atau Cesey Stoner.
Dalam pertemuan dengan wali murid, kami sempat bertanya dengan nada bercanda, “Mengapa tidak ada anak yang memakai nama Suharto, Sukarno, Subroto, Bambang, Paijo, Paimin, dan nama-nama Jawa lainnya?”
“Bagi anak-anak yang beragama Islam mengapa tidak ada lagi yang menggunakan nama-nama Arab yang sebelumnya banyak dipakai, seperti Siti, Marfu’ah, Maemunah, Maesaroh, Mushlih, Mu’min, atau Sholihin?
Mayoritas wali murid hanya menjawab dengan senyum dan tawa, dan hanya sebagian yang nyeletuk, “Wah… ndeso (kampungan), pak” Ada juga yang bilang, “Kasihan anaknya, nanti malu, karena nama teman-temannya keren-keren”
Ada juga yang “kurang ajar” dengan balik bertanya, “Kenapa nama bapak sendiri bukan Supriadi atau Wagimin?” Saya tidak bisa menjawab, karena harus bertanya pada bapak saya dulu.
Dari sini saya hanya berefleksi diri, dengan berjuta tanya mengenai pergeseran budaya kita dalam hal kebanggaan kita pada budaya kita sendiri. Mengapa ada kecenderungan kita malu menggunakan identitas kita sendiri? Mengapa di benak kita nama Lucky atau Faiz lebih keren dibanding Bejo atau Untung, padahal keduanya memiliki arti sama?
Saya belum tahu bagaimana hal semacam ini berlaku di kalangan suku bangsa lain di Indonesia? Sejauh pengetahuan saya, masyarakat Bali merupakan sedikit di antara yang masih kukuh menggunakan nama asli daerahnya. Di Sumatera, Papua, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara, orang masih bangga menggunakan nama marga keluarganya atau nama lokal, meski nama depan memakai nama Barat atau Arab. Sementara, di beberapa tempat makin banyak orang yang praktis meninggalkan nama asli daerahnya.
Meski apalah arti sebuah nama, tetapi dalam hati saya iri melihat orang Jepang, Korea atau Vietnam yang sedemikian konsisten menggunakan nama asli bangsanya. Bahkan meski berayah Kanada, Maria Ozawa Miyabi tetap kental dengan identitas Jepang-nya. (buat yang kenal aja)
Sementara kita begitu mudahnya merelakan identitas yang diwariskan oleh nenek moyang sirna oleh identitas baru, mulai dari Sansekerta, Arab atau Eropa. Kita telah sedemikian terkoptasi – untuk tidak mengatakan terjajah - oleh budaya asing dengan menempatkan budaya kita sendiri sebagai masa lalu.
Tampaknya, pilihan nama tersebut ada hubungannya dengan budaya (kebiasaan) kita yang cenderung memandang rendah “milik” kita sendiri dan “milik” orang lain lebih baik dan bernilai. Bila dikaitkan dengan sikap keseharian, kita akan mendapati kecenderungan demikian dalam sekala yang lebih luas.
Ketika membeli barang tertentu, kita biasa mendengar, “Ini import, ini lokal”. Di kampus-kampus perguruan tinggi juga sering ada dikotomi, “Dia lulusan luar negeri dan yang lain lulusan dalam negeri”. Masing-masing ungkapan tersebut memiliki konotasi, bahwa barang impor lebih baik dan pantas dihargai lebih tinggi dibanding produk dalam negeri, lulusan luar negeri lebih baik dari dalam negeri.
Tampaknya kita memang tengah berada dalam krisis nasionalisme. Kita sedemikian terbiasa sinis atau bahkan menilai rendah kebudayaan, bangsa, hasil karya, tokoh, dan negeri sendiri, sampai-sampai ada masyarakat yang begitu bangga memasang patung Obama dibanding Sukarno, apalagi Suharto (sekedar contoh).
Tentu saja, buka “pemahlawanan” Suharto, Gus Dur atau siapapun yang diperlukan, sebab yang lebih substansial sebenarnya adalah perlunya kita belajar menghargai “milik” sendiri, kecuali kita merasa cukup untuk selamanya menjadi konsumen setia “produk-produk” asing.