LAHMIRZA HANIM
Cerita
ini merupakan pengalaman pribadi saya yang berhubungan dengan Pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN)/ Penddikan Kewarganegaraan
(PKN).
Ketika
saya menikmati masa pendidikan di Sekolah Dasar (SD), Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
(PPKN) rasanya menjadi pelajaran yang paling mudah. Mengapa? Karena setiap kali
ada persoalan, jawabannya selalu berkutat pada gotong royong, kerukunan, dan
tenggang rasa. Apalagi jikalau soalnya pilihan ganda. Hampir semua dipastikan
pilihan-pilihan jawaban itu pasti muncul. Terus terang saja saya langsung
menyilang pilihan jawaban tersebut karena pilihan lainnya sama sekali tidak ada
hubungannya sama soal. Memang semudah itu PPKN di tingkat pendidikan Sekolah
Dasar walaupun dalam tindakan nyatanya saya beum tahu apa makna gotong royong,
kerukunan, dan tenggang rasa yang sebenarnya. Ketika tu, boleh jadi saya juga
harus bangga ketika guru (kesayangan saya) menanyakan pertama kali siapa yang
hafal Pancasila. Saya masih ingat betul ada 6 anak yang mengangkat tangan
dengan semangat, termasuk saya. Enam anak lucu ini akhirnya memimpin ”deklarasi”
Pancasila di depan kelas. Sila per sila didengungkan seisi kelas.
Memasuki
tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), terdapat mata pelajaran yang
berjudul Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Jika kita cermati, ada perubahan
dari SD ke SMA untuk penamaan mata pelajaran ini, yakni hilangnya Pendidikan
Pancasila. Pada pelajaran ini lebih mengutamakan sistem demkrasi, yakni dari,
untuk, dan oleh siswa. Artinya, sistem pembelajaran lebih menekankan kepada
prosentasi dan diskusi. Sistem inilah yang membuat saya lebih semangat untuk
mengikuti pelajaran ini. Saya selalu menyimak prosentasi yang dilakukan oleh
temanku. Bukan karena saya ingin memahami materi, tetapi mengumpulkan data
untuk membuat sebuah pertanyaan yang akan diajukan pada sesi tanya jawab saat
diskusi. Alasannya sederhana, yakni ingin mendapatkan nilai dan dapat memberikan
pertanyaan berbobot yang bisa membuat peserta prosentasi kesulitan dalam
menjawab. Alhasil jelas saja, setiap sesi tanya jawab saat diskusi, saya
merupakana pilihan terakhir untuk ditunjuk oleh peserta prosentasi. Tetapi
untungnya pak guru selalu memberikan saya kesempatan. Bagaiman tidak? Saya selalu
ngtot untuk diberikan kesempatan memberikan pertanyaan walaupun kesempatan
bertanya sudah habis.
Hal
sebaliknya terjadi ketika kelompok saya menyajikan prosentasi. Saking semangatnya
untuk menjatuhkan saya, siswa lainya selalu sudah membuat pertanyaan dari rumah
dengan referensi buku Lembar Kerja Siswa (LKS). Namun tidak berpengaruh, semua
pertanyaan bisa saya atasi dengan mudah, dengan bahasa retorika tanpa
sebenarnya saya mengerti esensi jawaban yang saya berikan. Bermodal sikap yang
meyakinkan dalam menjawab ternyata bisa membunuh kepercayaan diri siwa lainnya
yang ingin membantai saya. Tetapi acapkali juga timbul perdebatan sehingga pak
guru tersebut menengahi dengan cara kebapakkan. Jadi kesimpulannya, sekali lagi
saya belum mampu memaknai lebih dalam esensi apa yang diajarkan dalam
kewarganegaraan ini selain semangat untuk menjatuhkan teman dalam sesi
prosentasi. Atau jangan-jangan apakah tindakan saya tersebut sudah memprosentasikan
proses politik?
Memasuki
jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), jujur saya tidak akan menulis apa apa
tentang peristiwa yang terjadi ketika mengikuti mata pelajaran PKN, karena
benar-benar blank. Bahkan wajah dari guru saya saja tidak ingat. Tidak berkesan
sama sekali. Saya sempat berpikir, mungkin sejak SMA tidak ada pelajaran PKN. Entah
mengapa bisa benar-benar amnesia. Mungkin karena ada sistem penjurusan di SMA. Sehingga
ketika di kelas X, semua siswa fokus berlomba-lomba untuk masuk jurusan Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) karena saat itu memang jurusan itulah yang sangat
berkesan. Sementara setelah masuk ke dalam jurusan tersebut, orientasinya
adalah fokus untuk memenangkan pertarungan Ujian Nasional (UNAS) yang cukup
membuat keder banyak siswa. Jadi apa boleh buat, bahwa PKN bisa jadi tidak menarik
bagi siswa-siswi yang berorientasi IPA. Nyatanya, saya bisa dibuat tidak menyukai
pelajaran ilmu-ilmu sosial termasuk PKN dan sejarah yang seharusnya menjadi hal
yang penting untuk diketahui. Malahan IPA sukses mencetak saya menjadi siswa
yang jago pelajaran kimia yang mengantarkan saya menjuarai olimpiade kimia di
SMA dalam rangka memperingati hari Kemerdekaan Indonesia.
Inilah sedikit pengalaman saya mengenai pembelajaran PKN selama saya masih di bangku sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar