Minggu, 25 Oktober 2015

Aku dan PKN



LAHMIRZA HANIM
Cerita ini merupakan pengalaman pribadi saya yang berhubungan dengan Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN)/ Penddikan Kewarganegaraan (PKN).
Ketika saya menikmati masa pendidikan di Sekolah Dasar (SD), Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PPKN) rasanya menjadi pelajaran yang paling mudah. Mengapa? Karena setiap kali ada persoalan, jawabannya selalu berkutat pada gotong royong, kerukunan, dan tenggang rasa. Apalagi jikalau soalnya pilihan ganda. Hampir semua dipastikan pilihan-pilihan jawaban itu pasti muncul. Terus terang saja saya langsung menyilang pilihan jawaban tersebut karena pilihan lainnya sama sekali tidak ada hubungannya sama soal. Memang semudah itu PPKN di tingkat pendidikan Sekolah Dasar walaupun dalam tindakan nyatanya saya beum tahu apa makna gotong royong, kerukunan, dan tenggang rasa yang sebenarnya. Ketika tu, boleh jadi saya juga harus bangga ketika guru (kesayangan saya) menanyakan pertama kali siapa yang hafal Pancasila. Saya masih ingat betul ada 6 anak yang mengangkat tangan dengan semangat, termasuk saya. Enam anak lucu ini akhirnya memimpin ”deklarasi” Pancasila di depan kelas. Sila per sila didengungkan seisi kelas.
Memasuki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), terdapat mata pelajaran yang berjudul Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Jika kita cermati, ada perubahan dari SD ke SMA untuk penamaan mata pelajaran ini, yakni hilangnya Pendidikan Pancasila. Pada pelajaran ini lebih mengutamakan sistem demkrasi, yakni dari, untuk, dan oleh siswa. Artinya, sistem pembelajaran lebih menekankan kepada prosentasi dan diskusi. Sistem inilah yang membuat saya lebih semangat untuk mengikuti pelajaran ini. Saya selalu menyimak prosentasi yang dilakukan oleh temanku. Bukan karena saya ingin memahami materi, tetapi mengumpulkan data untuk membuat sebuah pertanyaan yang akan diajukan pada sesi tanya jawab saat diskusi. Alasannya sederhana, yakni ingin mendapatkan nilai dan dapat memberikan pertanyaan berbobot yang bisa membuat peserta prosentasi kesulitan dalam menjawab. Alhasil jelas saja, setiap sesi tanya jawab saat diskusi, saya merupakana pilihan terakhir untuk ditunjuk oleh peserta prosentasi. Tetapi untungnya pak guru selalu memberikan saya kesempatan. Bagaiman tidak? Saya selalu ngtot untuk diberikan kesempatan memberikan pertanyaan walaupun kesempatan bertanya sudah habis.
Hal sebaliknya terjadi ketika kelompok saya menyajikan prosentasi. Saking semangatnya untuk menjatuhkan saya, siswa lainya selalu sudah membuat pertanyaan dari rumah dengan referensi buku Lembar Kerja Siswa (LKS). Namun tidak berpengaruh, semua pertanyaan bisa saya atasi dengan mudah, dengan bahasa retorika tanpa sebenarnya saya mengerti esensi jawaban yang saya berikan. Bermodal sikap yang meyakinkan dalam menjawab ternyata bisa membunuh kepercayaan diri siwa lainnya yang ingin membantai saya. Tetapi acapkali juga timbul perdebatan sehingga pak guru tersebut menengahi dengan cara kebapakkan. Jadi kesimpulannya, sekali lagi saya belum mampu memaknai lebih dalam esensi apa yang diajarkan dalam kewarganegaraan ini selain semangat untuk menjatuhkan teman dalam sesi prosentasi. Atau jangan-jangan apakah tindakan saya tersebut sudah memprosentasikan proses politik?
Memasuki jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), jujur saya tidak akan menulis apa apa tentang peristiwa yang terjadi ketika mengikuti mata pelajaran PKN, karena benar-benar blank. Bahkan wajah dari guru saya saja tidak ingat. Tidak berkesan sama sekali. Saya sempat berpikir, mungkin sejak SMA tidak ada pelajaran PKN. Entah mengapa bisa benar-benar amnesia. Mungkin karena ada sistem penjurusan di SMA. Sehingga ketika di kelas X, semua siswa fokus berlomba-lomba untuk masuk jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) karena saat itu memang jurusan itulah yang sangat berkesan. Sementara setelah masuk ke dalam jurusan tersebut, orientasinya adalah fokus untuk memenangkan pertarungan Ujian Nasional (UNAS) yang cukup membuat keder banyak siswa. Jadi apa boleh buat, bahwa PKN bisa jadi tidak menarik bagi siswa-siswi yang berorientasi IPA. Nyatanya, saya bisa dibuat tidak menyukai pelajaran ilmu-ilmu sosial termasuk PKN dan sejarah yang seharusnya menjadi hal yang penting untuk diketahui. Malahan IPA sukses mencetak saya menjadi siswa yang jago pelajaran kimia yang mengantarkan saya menjuarai olimpiade kimia di SMA dalam rangka memperingati hari Kemerdekaan Indonesia.    
Inilah sedikit pengalaman saya mengenai pembelajaran PKN selama saya masih di bangku sekolah.  


          

                                                                                                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MATERI MACAM-MACAM GERAK

A. Lokomotor Gerakan lokomotor  gerakan yang ditandai dengan adanya perpindahan tempat, seperti jalan, lari, melompat, dan mengguling.  Ger...