Sinar sang surya sayup sayup mulai
menyelinap masuk ke kamar Dian melalui cela – cela tirai jendelanya. Dian,
gadis berumur 15 tahun itu masih lelap di atas kasurnya yang empuk. Ia sangat
mengantuk setelah semalam sholat Tahajud dan dilanjutkan sholat subuh. Lalu
terdengar suara wanita dari luar kamar memanggil manggil nama gadis itu.
“Yan, Diaan. Bangun nak! Kamu hari ini kan ada upacara”
teiak ibu Dian dari dapur
“iya bu Dian sudah bangun” sahut Dian yang mulai terbangun
dari Kasur. Ia bergegas mengambil handuk dan masuk kamar mandi bahkan
melenggang dengan santai di samping ibunya yang sibuk menyiapkan sarapan
“kamu itu sudah dewasa Dian, jangan jadi anak pemalas.
Contoh kakakmu Lutfi, pagi – pagi sekali sudah siap berangkat kuliah” ibu Dian
menggerutu sendiri di dapur, padahal Dian sudah berada di kamar mandi.
3 menit kemudian Dian keluar dari
kamar mandi dan langsung masuk ke kamarnya lagi untuk berganti seragam. Sedangkan
Lutfi, kakak Dian adalah seorang mahasiswa semester 2 di jurusan ekonomi,
Universitas Gajah Mada dengan jalur masuk SNMPTN atau undangan. Pantas saja
orang tua Dian sangat bangga dan sangat meyayangi Lutfi, karena diam – diam
Lutfi pernah meraih ranking 1 di kelasnya selama 2 tahun tanpa sepengetahuan
orang tuanya.
Setelah berganti seragam, Dian ikut
sarapan di meja makan bersama Ayah, Ibu dan kakaknya. Ia sudah terbiasa di
banding bandingkan dengan kakaknya yang sangat pintar itu. Namun di sisi lain
ia juga bangga pada dirinya sendiri karena jarang merepotkan orang tuanya. Bahkan
ia berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri. Seperti pagi ini
“Lutfi, ini uang sakumu dan bekalmu
hari ini ya. Jangan pulang terlalu malam. Kalau ada kebutuhan mendesak pakai
uangmu dulu nanti ibu ganti. Ayo cepat berangkat, Ayahmu sudah menunggu.” kata
ibu kepada Lutfi, lalu Lutfi mulai beranjak dari tempat duduk dan berpamitan
kepada ibunya. Lutfi selalu berangkat ke kampus diantar Ayah sampai ke stasiun,
lalu naik kereta dan angkutan umum untuk sampai ke kampusnya.
Sedangkan pada Dian
“Dian, kamu punya tabungan kan?
Hari ini uang sakumu pakai uang tabunganmu dulu ya nak. Uang ibu sudah menipis
untuk uang saku kakakmu, tapi ini tetap ada bekal untuk kamu” kata ibu kepada
Dian yang masih asyik melahap sarapannya.
“Iya bu kan sudah biasa pakai uang
tabungan Dian sendiri. Malah Dian bayar buku pakai uang tabunganku sendiri”
jawab Dian sengaja agar ibunya peka.
“Oh begitu, iya bagus itu. Kapan –
kapan saja ya ibu ganti uangmu. Ingatkan ibu. Eh sudah jam berapa ini, ayo
cepat berangkat” sahut ibu mengagetkan Dian
Dian berangkat
ke sekolah mengendarai sepeda motor yang dulu pernah ia minta agar orangtuanya
tidak perlu bersusah payah mengantarnya ke sekolah setiap hari. Jarak antara
rumah dan sekolah Dian memang jauh namun Dian yang telah menginjak semester 2 di kelas 10-D SMAN 5 termasuk
siswi yang mandiri dan aktif di salah satu ekstrakulikuler sekaligus organisasi
di sekolahnya, karena ia senang saat berkumpul dengan teman dari kelas lain untuk
berbagi informasi, berdiskusi bahkan bergurau sampai sore tiba.
Keesokkan harinya, tidak seperti
biasa Lutfi tidak ikut sarapan bersama keluarga di ruang makan. Ketika Dian
menanyakan keberadaan Lutfi kepada ibunya, ibunya menjawab kalau Lutfi sedang
sakit, semalam Lutfi batuk – batuk sampai mengeluarkan cairan kuning. Ayah dan
ibu sepakat kalau hari ini akan meabawa Lutfi ke rumah sakit untuk periksa
kesehatan. Dalam hati, Dian berkata sebegitu sayangnya orangtuanya kepada anak
sulungnya daripada anak bungsunya. Bahkan Dian membayangkan “kalau aku sakit, apakah
orangtuaku akan sekhawatir ini kepadaku?”
Pikiran Dian selalu melayang kemana
mana, ia merasa ada diskriminasi di dalam keluarganya. Bahkan haknya sebagai
anak dikurangi atau tidak sepenuhnya terpenuhi dari segi material dan kasih sayang.
Dian cuma bisa berusaha, bahwa suatu hari nanti ia ingin lebih membanggakan
daipada kakaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar