Sebut saja dia Mawar

Aku bersyukur, selalu. Karena terlahir dari keluarga ini. Menjadi anak dari ibuku dan ayahku. Karena tak setiap anak mendapatkan hak berupa kasih sayang dari ayah atau ibunya.

Seperti, si kecil Mawar (nama samaran) yang tinggal tak jauh dari rumahku. Umurnya menginjak 6 tahun, namun si kecil itu sudah merasakan warna-warni pahitnya hidup.

Cerita si kecil itu berawal sejak dia lahir. Sudah mengejutkan semua. Karena adanya dia tak disadari sang ayah dan keluarga. Jadi selama sembilan bulan ibunya menyembunyikan kebradaanya dari semua orang, Termasuk ayahnya. Faktor kemiskinanlah penyebabnya.

Masih kuingat dulu, pada saat kelahirannya yang mengejutkan seluruh masyarakat. kabar yang kudengar, pada saat proses kelahiran Ayahnya bahkan sempat tak mau mengakui jika Mawar adalah anaknya.

Namun bersama berjalannya waktu, mau tak mau Ayahnya harus mengakui. Hingga Mawar berumur empat tahun dan peristiwa itu terjadi.

Peristiwa dimana, membuat ibu Mawar menjadi lumpuh dan tak bisa berjalan lagi. Satu-satunya sumber kasih sayang Mawar terampas, karena ibu Mawar harus di rawat untuk menyembuhkan lumpuhnya di kota Malang.

Hal itu membuat Mawar harus tinggal dengan Neneknya yang sudah tua, karena Ayahnya sudah tak pernah pulang sejak dua tahun lalu.

Dan sampai saat ini gadis kecil itu, tak mendapatan hak. Hak kasih sayang terutama. Bahkan dia sempat telat sekolah selama satu tahun, karena keluarganya masih ragu untuk menyekolahkan atau tidak.

Namun anak kecil tetaplah anak kecil, yang masih belum paham kehidupan. Yang mereka pahami hanya bermain, makan jajan, nonton televisi.

Melihat Mawar tertawa lebar sudah membuatku sedikit bernafas lega. Tak perlu memikirkan kemana Ayahnya dan Ibunya, yang terpenting sekarang Mawar. Semoga bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat sekalipun dalam keadaan sulit.