Hak Ku Terbagi dengannya
Di
sebuah desa yang letaknya jauh dengan kota tetapi tidak bisa dikatakan desa
terpencil, disana aku dan keluargaku tinggal. Aku tak hanya tinggal bersama
Ayah, Ibu, dan Adikku, tetapi dengan nenek, dan adik ayahku beserta istri dan
anak-anaknya. Kami menghuni rumah yang bisa dikatakan luas tetapi tak megah.
Kehidupan keluargaku sangat sederhana dengan ayah bekerja sebagai guru dan
ibuku sebagai penjaga toko di rumah. Ayahku adalah anak pertama dari 6
bersaudara. Dan aku adalah cucu pertama yang harus bisa memberi contoh baik
kepada saudara-saudaraku.
Ayah
dan Ibuku menikah pada tahun 1995. Mereka tak langsung memiliki rumah sendiri
dan akhirnya tinggal bersama keluarga dari Ayah. Pada saat itu Ayahku adalah
anak pertama dan masih memiliki tanggungjawab terhadap adik-adiknya yang masih
sekolah. Ayahku adalah seorang yang sabar, ia tak pernah mengeluh dengan beban
yang ditanggungnya. Dan itulah yang aku sukai dari sosok Ayahku. Waktu terus
berlalu hingga Ibuku mengandung. Ibuku merasa tak nyaman dengan Ibu dari Ayah,
Nenekku. Dan sepertinya memang dari awal nenekku tidak suka dengan Ibuku.
Ayahku harus bekerja meskipun menjadi guru untuk menafkai Ibuku dan membiayai
sekolah adiknya. Dari situ, Ibuku merasa bahwa hak mendapatkan kebahagiaan
dalam rumah tangga terbagi.
Pada
tanggal 19 Agustus 1996, Ibuku melahirkanku sebagai anak pertama dan juga
sebagai cucu pertama dengan selamat meskipun pada saat itu Ibuku mengalami
pendarahan yang sangat hebat. Nenek sangat menyayangiku karena aku adalah cucu
pertamanya. Apapun yang keluargaku punya, senantiasa mereka berikan padaku.
Namun setelah adik dari ayahku menikah dan melahirkan seorang anak, semuanya
berubah. Dia adalah cucu kedua nenekku yang menurutku hingga dewasa ini ia
selalu iri dengan apa yang aku miliki. Mulai dari barang-barang serta
pendidikan yang aku jalani sekarang ini. Terlihat ketika aku diterima di
Madrasah Tsanawiyah favorit di kotaku. Dua tahun berikutnya ia menyusulku di
madrasah tersebut. Dan yang tidak aku sukai, keluarganya meminjam uang dari
ayahku untuk membiayai anaknya sekolah di madrasah yang dikenal mahal tersebut.
Setauku, Ayah dan Ibu kita akan berusaha, bekerja semaksimal mungkin agar
anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Tetapi tidak untuk saudaraku,
ia selalu bergantung pada ayahku untuk membiayai sekolah anaknya. Bukannya
tidak mau membantu, tetapi seharusnya itu adalah hakku sepenuhnya karena aku
adalah anak Ayahku.
Hal
yang sama aku rasakan di tingkat Aliyah. Sungguh, aku bersyukur diterima di
Madrasah Aliyah Favorit di kotaku. Dan
ternyata saudaraku juga mengikuti jejakku bersekolah di madrasah yang dikenal
mahal juga. Aku semakin bertanya-tanya mengapa ia harus mengikutiku. Sebenarnya
tak masalah apabila ia satu sekolahan denganku, tetapi apabila dilihat dari
latar belakang Ayah dan Ibunya yang bekerja serabutan, mengapa ia sangat
berambisi bersekolah di sekolah mahal? Mengapa ia tak memikirkan apabila nanti
Ayah dan Ibunya tak bisa membiayai sekolahnya? Mengapa ia tak bersekolah dimana
orang tuanya mampu membiayai? Karena ambisinya tersebut, orang tuanya meminjam
uang pada Ayahku dan aku pun tak tau hutang-hutang yang dulu apakah sudah
dibayar. Karena dengan dia meminjam uang terus-menerus kepada Ayahku, jatah
yang seharusnya sepenuhnya untukku menjadi terbagi dengannya. Apabila aku
sedang butuh, Ayah hanya memberiku janji. Tetapi ketika saudaraku butuh, Ayah
langsung memberikan uang padanya. Apakah itu yang dinamakan adil?
Setelah
aku lulus dari Aliyah, aku diterima di Universitas Islam Negeri di luar kota
yang aku inginkan. Sebelum aku memilih UIN untuk pendidikanku selanjutnya, aku
sempat berfikir apakah nanti orang tuaku bisa membiayaiku, memenuhi kebutuhanku
di luar kota, hingga aku lulus dan aku dapat meraih impianku sedangkan
saudaraku tetap bergantung pada Ayahku. Memang dia memiliki hak mendapatkan
pendidikan yang layak, tetapi aku pun juga berhak mendapatkan kebahagiaan,
kesejahteraan dari Ayah sepenuhnya melebihi dia dan juga pendidikan yang layak
yang sekiranya Ayahku mampu membiayai. Apakah nantinya dia juga akan menyusulku
di Universitas yang sama lagi? Dengan biaya dari Ayahku lagi? Apa guna orang
tuanya apabila biaya harus dari orang lain? Aku pun hanya berdoa dan berharap
semoga Allah menyadarkan orang tuanya, agar lebih giat bekerja agar bisa
membiayai pendidikan anaknya sepenuhnya. Sungguh aku tak tega melihat Ayahku
diperlakukan seperti itu. Dan semoga Ayahku, Ibuku, aku, dan kedua adikku
mendapatkan kemakmuran hidup seperti apa yang kami inginkan selama ini.
Semoga
kisah ini bisa menjadi pelajaran bagi para pembaca yang pernah mengalami hal
yang sama sepertiku, dengan keadaan yang sama seperti yang dialami keluargaku.
Sungguh bersabarlah kalian dan lakukan semua kegiatan dengan ikhlas. Karena
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Maka Allah akan membalas semua
perbuatan kalian asalkan kalian senantiasa beribadah, berdoa mendekatkan diri
kepada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar