Senin, 23 November 2015

Hak Ku Terbagi dengannya



Hak Ku Terbagi dengannya
Di sebuah desa yang letaknya jauh dengan kota tetapi tidak bisa dikatakan desa terpencil, disana aku dan keluargaku tinggal. Aku tak hanya tinggal bersama Ayah, Ibu, dan Adikku, tetapi dengan nenek, dan adik ayahku beserta istri dan anak-anaknya. Kami menghuni rumah yang bisa dikatakan luas tetapi tak megah. Kehidupan keluargaku sangat sederhana dengan ayah bekerja sebagai guru dan ibuku sebagai penjaga toko di rumah. Ayahku adalah anak pertama dari 6 bersaudara. Dan aku adalah cucu pertama yang harus bisa memberi contoh baik kepada saudara-saudaraku.
Ayah dan Ibuku menikah pada tahun 1995. Mereka tak langsung memiliki rumah sendiri dan akhirnya tinggal bersama keluarga dari Ayah. Pada saat itu Ayahku adalah anak pertama dan masih memiliki tanggungjawab terhadap adik-adiknya yang masih sekolah. Ayahku adalah seorang yang sabar, ia tak pernah mengeluh dengan beban yang ditanggungnya. Dan itulah yang aku sukai dari sosok Ayahku. Waktu terus berlalu hingga Ibuku mengandung. Ibuku merasa tak nyaman dengan Ibu dari Ayah, Nenekku. Dan sepertinya memang dari awal nenekku tidak suka dengan Ibuku. Ayahku harus bekerja meskipun menjadi guru untuk menafkai Ibuku dan membiayai sekolah adiknya. Dari situ, Ibuku merasa bahwa hak mendapatkan kebahagiaan dalam rumah tangga terbagi.
Pada tanggal 19 Agustus 1996, Ibuku melahirkanku sebagai anak pertama dan juga sebagai cucu pertama dengan selamat meskipun pada saat itu Ibuku mengalami pendarahan yang sangat hebat. Nenek sangat menyayangiku karena aku adalah cucu pertamanya. Apapun yang keluargaku punya, senantiasa mereka berikan padaku. Namun setelah adik dari ayahku menikah dan melahirkan seorang anak, semuanya berubah. Dia adalah cucu kedua nenekku yang menurutku hingga dewasa ini ia selalu iri dengan apa yang aku miliki. Mulai dari barang-barang serta pendidikan yang aku jalani sekarang ini. Terlihat ketika aku diterima di Madrasah Tsanawiyah favorit di kotaku. Dua tahun berikutnya ia menyusulku di madrasah tersebut. Dan yang tidak aku sukai, keluarganya meminjam uang dari ayahku untuk membiayai anaknya sekolah di madrasah yang dikenal mahal tersebut. Setauku, Ayah dan Ibu kita akan berusaha, bekerja semaksimal mungkin agar anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Tetapi tidak untuk saudaraku, ia selalu bergantung pada ayahku untuk membiayai sekolah anaknya. Bukannya tidak mau membantu, tetapi seharusnya itu adalah hakku sepenuhnya karena aku adalah anak Ayahku.
Hal yang sama aku rasakan di tingkat Aliyah. Sungguh, aku bersyukur diterima di Madrasah Aliyah Favorit di kotaku.  Dan ternyata saudaraku juga mengikuti jejakku bersekolah di madrasah yang dikenal mahal juga. Aku semakin bertanya-tanya mengapa ia harus mengikutiku. Sebenarnya tak masalah apabila ia satu sekolahan denganku, tetapi apabila dilihat dari latar belakang Ayah dan Ibunya yang bekerja serabutan, mengapa ia sangat berambisi bersekolah di sekolah mahal? Mengapa ia tak memikirkan apabila nanti Ayah dan Ibunya tak bisa membiayai sekolahnya? Mengapa ia tak bersekolah dimana orang tuanya mampu membiayai? Karena ambisinya tersebut, orang tuanya meminjam uang pada Ayahku dan aku pun tak tau hutang-hutang yang dulu apakah sudah dibayar. Karena dengan dia meminjam uang terus-menerus kepada Ayahku, jatah yang seharusnya sepenuhnya untukku menjadi terbagi dengannya. Apabila aku sedang butuh, Ayah hanya memberiku janji. Tetapi ketika saudaraku butuh, Ayah langsung memberikan uang padanya. Apakah itu yang dinamakan adil?
Setelah aku lulus dari Aliyah, aku diterima di Universitas Islam Negeri di luar kota yang aku inginkan. Sebelum aku memilih UIN untuk pendidikanku selanjutnya, aku sempat berfikir apakah nanti orang tuaku bisa membiayaiku, memenuhi kebutuhanku di luar kota, hingga aku lulus dan aku dapat meraih impianku sedangkan saudaraku tetap bergantung pada Ayahku. Memang dia memiliki hak mendapatkan pendidikan yang layak, tetapi aku pun juga berhak mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan dari Ayah sepenuhnya melebihi dia dan juga pendidikan yang layak yang sekiranya Ayahku mampu membiayai. Apakah nantinya dia juga akan menyusulku di Universitas yang sama lagi? Dengan biaya dari Ayahku lagi? Apa guna orang tuanya apabila biaya harus dari orang lain? Aku pun hanya berdoa dan berharap semoga Allah menyadarkan orang tuanya, agar lebih giat bekerja agar bisa membiayai pendidikan anaknya sepenuhnya. Sungguh aku tak tega melihat Ayahku diperlakukan seperti itu. Dan semoga Ayahku, Ibuku, aku, dan kedua adikku mendapatkan kemakmuran hidup seperti apa yang kami inginkan selama ini.
Semoga kisah ini bisa menjadi pelajaran bagi para pembaca yang pernah mengalami hal yang sama sepertiku, dengan keadaan yang sama seperti yang dialami keluargaku. Sungguh bersabarlah kalian dan lakukan semua kegiatan dengan ikhlas. Karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Maka Allah akan membalas semua perbuatan kalian asalkan kalian senantiasa beribadah, berdoa mendekatkan diri kepada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MATERI MACAM-MACAM GERAK

A. Lokomotor Gerakan lokomotor  gerakan yang ditandai dengan adanya perpindahan tempat, seperti jalan, lari, melompat, dan mengguling.  Ger...