RADIKAL dan
radikalisme, dua istilah yang akhir-akhir ini sering kali dikaikan dengan
aksi-aksi kekerasan yang dikonotasikan dengan kekerasan berbasis agama termasuk
aksi terorisme.
Lalu dalam upaya pencegahan
dan pemberantasan terorisme muncul wacana strategi deradikalisasi, yaitu upaya
untuk memutus rantai radikalisme, yang berangkat dari asumsi pemicu terorisme
adalah radikalisme.
Maka ketika isu ISIS mencuat
yang disinyalir banyak melakukan tindakan kekerasan yang brutal, wacana
deradikalisasi menguat kembali. Berikutnya muncul isu adanya situs Islam
radikal yang berujung pada pembredelan situs-situs yang dikelola oleh beberapa
komunitas atau organisasi Islam.
Fenomena terorisme sendiri
bagi sebagian besar umat Islam masih menjadi tanda tanya, kendatipun berbagai
wacana dan kajian tentang ini sudah banyak dilakukan, namun identifikasi
penyebab masih kabur.
Siapakah sebenarnya pelaku
terorisme dan apa motif dibalik aksi terorisme. Namun yang jelas, semua ormas
Islam yang resmi di nagara ini sama-sama menyatakan bahwa praktik terorisme
bukanlah bagian dari Islam. Tidak terkecuali ormas-ormas yang sering distigma
sebagai ormas garis keras seperti Fron Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI).
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
sendiri telah mengeluarkan fatwa tentang terorisme. Menurut fatwa MUI,
terorisme hukunya haram dilakukan oleh siapapun dengan tujuan apapun. Dalam
fatwa MUI juga dijelaskan perbedaan secara nyata antara terorisme dengan jihad.
Jihad sifatnya untuk melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan
cara peperangan, tujuannya menegakkan agama Allah dan/atau membela hak-hak
pihak yang terzalimi, serta dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan
oleh syari’at dengan sasaran musuh yang sudah jelas.
Sementara itu, terorisme
sifatnya merusak (ifsad) dan anarkhis /chaos (faudla),
tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain, serta
dilakukan tanpa aturan yang jelas dan sasaranya tanpa batas.
Lalu bagaimana dengan radikal
dan radikalisme sendiri yang sering dikaitkan dengan terorisme?
Istilah radikal dan radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal mula. Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry terbitan Arkola Surabaya menuliskan bahwa radikal sama dengan menyeluruh, besar-besaran, keras, kokoh, dan tajam.
Istilah radikal dan radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal mula. Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry terbitan Arkola Surabaya menuliskan bahwa radikal sama dengan menyeluruh, besar-besaran, keras, kokoh, dan tajam.
Hampir sama dengan pengetian
itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan
sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”,
dan “maju dalam berpikir atau bertindak”.
Dalam
pengertian lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok, dan
esensial. Berdasarkan konotasinya yang luas, kata itu mendapatkan makna teknis
dalam berbagai ranah ilmu, politik, ilmu sosial, bahkan dalam ilmu kimia
dikenal istilah radikal bebas.
Istilah radikal juga digunakan
sebagai kebalikan dari istilah moderat. Dalam penggunaannya, kata moderat
menggambarkan suatu sikap mengambil jalan tengah ketika menghadapi konflik
dengan gagasan atau ide lain, dengan kata lain cenderung kompromistis atau
kooperatif.
Sebaliknya, radikal berarti
secara konsisten mempertahankan ide secara utuh ketika dihadapkan pada konflik
dengan ide lain, atau dengan kata lain non-kooperatif. Sikap radikal dan
moderat keduanya mempunyai contoh konkrit dalam sejarah pergerakan nasional
Indonesia.
Dalam sejarah pergerakan
kebangsaan Indonesia, dikenal dua strategi politik organisasi kebangsaan dalam
kaitannya untuk mewujudkan Indonesia merdeka yaitu strategi non-kooperatif
(radikal) dan kooperatif (moderat).
Strategi radikal artinya satu
tindakan penentangan secara keras terhadap kebijakan pemerintah kolonial serta
tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Kaum radikal berpendapat
bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka haruslah dengan jerih payah anak bangsa
sendiri dan bukan atas adanya campur tangan dari bangsa asing (Belanda).
Sebaliknya moderat artinya sebagai satu sikap lunak terhadap kebijakan pemerintah
kolonial (Belanda) di Indonesia.
Kaum moderat berpandangan
bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka tidak dapat lepas dari kerja sama dengan
berbagai bangsa yang ada di Indonesia saat itu, tidak terkecuali dengan
pemerintah kolonial (Belanda). Adanya dua strategi ini dua-duanya sama-sama
mempunyai tujuan kahir yang sama, yaitu untuk mewujudkan Indonesia merdeka.
Dalam konteks ini menunjukkan bahwa istilah radikal dan moderat sama-sama
mempunyai pengertian yang positif.
Istilah radikal juga bisa
dilabelkan pada gerakan PKI yang pernah memberontak tahun 1948 maupun tahun
1965, keduanya adalah ekspresi dari gerakan radikal.
Demikian pula berbagai organisasi berhaluan kiri
seperti Serikat Buruh Seluruh Indonesia, Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan
Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yang memelopori
berbagai aksi buruh beberapa waktu lalu juga termasuk gerakan radikal.
Namun demikian ketika radikalisme
dihubungkan dengan isu terorisme, istilah radikalisme akhir-akhir ini sering
dimaknai lebih sempit. Muncul idiom-idiom seperti Islam radikal, Salafi
radikal, atau yang agak umum radikalisme agama yang kesemuanya cenderung
berkonotasi pada Islam. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta misalnya, menerbitkan buku berjudul
“Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” Ada empat kelompok yang dimasukkan
sebagai “salafi radikal” dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI),
Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir. Sayangnya
penggunaan istilah salafi radikal disini sangat bias karena apa yang dimaksud
dengan salafi dan apa pula yang dimaksudkan dengan radikal tidak jelas
kriterianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar