A. Pendahuluan.
Islam sejatinya adalah
agama yang memberikan keamanan, kenyamanan, ketenangan dan ketenteraman bagi
semua makhluknya. Tidak ada satupun ajaran di dalamnya yang,mengajarkan kepada
umatnya untuk membenci dan melukai makhluk lain, kalaupun ada, itu adalah
bagian kecil dari salah satu upaya pemecahan masalah yang dilakukan umatnya dan
bukan ajarannya. Kitab suci Al Qur’an dan Sunah rasul diyakini
oleh umat Islam sebagai sumber
utama dalam memecahkan semua persoalan yang ada. Keyakinan ini adakalanya bisa
menjadi obat penenang dan bisa juga menjadi alasan untuk merugikan pihak lain,
semua itu tergantung dari umatnya dalam memahami teks kitab suci ataupun sunah
Nabi.
Kalau kita mau
jujur, Islam dalam sejarahnya acapkali melahirkan peperangan
dan pertumpahan darah. di mulai dari peristiwa Qabil dan habil,
perebutan kekuasaan pada masa sahabat, tabi’in dan mungkin hingga sekarang
(tragedy bom bali, semanggi, dan hotel ritz calton), label peperangan,
pertumpahan darah, kekerasan, penyiksaan dan pembunuhan seakan-akan masih
terpatri kuat. Semua ini terjadi adalah akibat dari ulah oknum umatIslam yang seenaknya
dan semena-mena dalam memahami ajaran yang ada. Akibatnya adalah stigma buruk
yang dimunculkan masyarakat lain terhadap Islam. Dari sekian banyak
kasus yang melahirkan stigma buruk terhadap Islam, hal ini tidak hanya
disebabkan kesalah fahaman dalam memahami ajaran agama, setidaknya terdapat dua
faktor yang mempengaruhi munculnya gerakan Radikalisme Islam di Indonesia.
Hal ini terkait dengan proses globalisasi. Proses
globalisasi meniscayakan adanya interaksi sosial-budaya dalam skala yang luas.
Dalam konteks ini, Islam sebagai tatanan nilai dihadapkan dengan tatanan
nilai-nilai modern, yang pada titik tertentu bukan saja tidak selaras dengan
nilai-nilai yang diusung Islam, tapi juga berseberangan secara diametral.
Akhirnya, proses interaksi global ini menjadi sebuah kontestasi kekuatan, di
mana satu sama lain saling memengaruhi bahkan “meniadakan”.
Kondisi ini telah menyebabkan sebagian Muslim
memberikan reaksi yang kurang proporsional. Mereka bersikukuh dengan nilai
Islam, seraya memberikan “perlawanan” yang sifatnya anarkhis. Sikap sebagian
Muslim seperti ini kemudian diidentifikasi sebagai gerakan radikal.
Kemunculan gerakan Radikal ini kemudian menimbulkan wacana radikalisme yang
dipahami sebagai aliran Islam garis keras di Indonesia. Dari pemaparan singkat
ini penulis mencoba membahas sedikit lebih dalam mengenai radikalisme Islam di
Indonesia yang mana akhir-akhir ini (pasca reformasi) geliat gerakan
radikalisem mulai marak dan bertebaran di wilayah Indoensia. Yang menjadi inti
dari pembahasan adalah faktor apa yang mendorong mereka sangat bersemangat
dalam “membela Tuhan”, yang kalau ditelisk lebih dalam sebenarnya gerakan
mereka belum tentu benar menurut prespectif masyarakat Islam mayoritas. Dan
juga hal apa yang ingin menjadi tujuan dari gerakan mereka.
B. Sejarah
Berkembangnya Islam dan Radikalisme di Indonesia.
Istilah radikalisme
berasal dari bahasa latinradix, yang artinya
akar, pangkal dan bagian bawah, atau bisa juga secara menyeluruh, habis-habisan
dan amat keras untuk menuntut perubahan. sedangkan secara terminologi
Radikalisme adalah aliran atau faham yang radikal terhadap tatanan politik;
paham atau aliran yang menuntut perubahan sosial dan politik dalam suatu negara
secara keras[1].
Perkembangan Islam di
Indonesia pasca di sebarkan oleh para wali ke depannya mengalami kemunduran
dalam hal hidup berdampingan dengan penuh kebersamaan ditengah-tengah
perbedaan. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari awal masuknya Islam di
Indonesia (Nusantara). Dalam lembaran sejarah Islam di Indonesia, proses
penyebaran agama tersebut terbilang cukup lancar serta tidak menimbulkan
konfrontasi dengan para pemeluk agama sebelumnya. Pertama kali masuk melalui
Pantai Aceh, Islam dibawa oleh para perantau dari berbagai penjuru, seperti
Arab Saudi dan sebagian dari mereka juga ada yang berasal dari Gujarat (India).
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya proses Islamisasi secara damai
itu karena kepiawaian para muballigh-nya dalam memilih media dakwah, seperti
pendekatan sosial budaya, tata niaga (ekonomi), serta politik. Dalam penggunaan
media budaya, sebagian muballigh memanfaatkan wayang sebagai salah satu media
dakwah. Dengan ketrampilan yang cukup piawai, Sunan Kalijaga misalnya, mampu
menarik simpati rakyat Jawa yang selama ini sudah sangat akrab dengan budaya
yang banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu Budha tersebut.[2] Bahkan, beberapa
di antara hasil kreasinya tersebut mampu menjadi salah satu tema dari tema-tema
pewayangan yang ada, termasuk gubahan lagu-lagu yang berkembang di benak
penganut agama hindu.
Selain menggunakan
media tradisi dan budaya, para pembawa panji Islam itu juga memanfaatkan aspek
ekonomi (tata niaga) untuk mengembangkan nilai-nilai serta ajaran Islam. Dari
berbagai literatur terungkap bahwa aspek tersebut menempati posisi cukup
strategis dalam upaya untuk melakukan Islamisasi di bumi Nusantara. Hal itu
bisa dipahami karena sebagian besar para pedagang –kala itu– telah memeluk
agama Islam, seperti pedagang dari Arab Saudi, maupun dari daerah lain, seperti
Gujarat, termasuk juga Cina. Salah satu faktor yang mendorong minat masyarakat
Nusantara untuk mengikuti agama para pedagang tersebut, karena tata cara dagang
serta perilaku sehari-hari lainnya dianggap cukup menarik dan lebih mengenai
dalam sanubari masyarakat setempat.[3]
Setelah Islam makin
kokoh menancapkan pengaruhnya di Indonesia, Islam pun mulai meningkatkan
perannya. Dari yang semula memerankan diri sebagai basis pengembangan sistem
kemasyarakatan, lambat-laun mulai meningkatkan perannya ke areal politik
melalui upaya untuk mendirikan kerajaan Islam. Antara lain, kerajaan Pasai,
Kerajaan Demak, Mataram, dan Pajang. Namun, semua itu mengalami keruntuhan
karena adanya berbagai faktor, baik yang disebabkan oleh konflik internal di
antara para anggota keluarga kerajaan, maupun faktor eksternal seperti serbuan
dari para koloni seperti Portugis dan Belanda.[4] Namun demikian,
posisi Islam tetap tak terpengaruh oleh berbagai dinamika sejarah tersebut,
melainkan tetap kukuh dan makin menyatu dengan kehidupan masyarakat. Singkat
kata, Islam di Indonesia hampir selalu memperlihatkan wajahnya yang ramah dan
santun. Gejolak dan dinamika yang sifatnya radikal nyaris tidak tampak.
Namun seiring perjalanan waktu, Dalam konteks ke
Indonesiaan dakwah dan perkembangan Islam mengalami kemunduran dan penuh dengan
penodaan. Gejala kekerasan melalui gerakan radikalisme mulai bermunculan.
Terlebih setelah Kehadiran orang-orang Arab muda dari Hadramaut Yaman ke
Indonesia yang membawa ideologi baru ke tanah air telah mengubah konstelasi
umat Islam di Indonesia. Ideologi baru yang lebih keras dan tidak mengenal
toleransi itu banyak dipengaruhi oleh mazhab pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
atau Wahabi yang saat ini menjadi ideologi resmi pemerintah Arab Saudi. Padahal
sebelumnya hampir semua para pendatang Arab yang datang ke Asia Tenggara adalah
penganut mazhab Syafi’i yang penuh dengan teloransi. Kelak, ideologi ini
melahirkan tokoh semisal Ustadz Abu Bakar Baasyir, Ja’far Umar Talib dan Habib
Rizieq Shihab yang dituduh sebagai penganut Islam garis keras.
dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
kondisi yang ditolak.
Radikalisme keagamaan sebenarnya fenomena yang biasa
muncul dalam agama apa saja. Radikalisme sangat berkaitan erat dengan
fundamentalisme, yang ditandai oleh kembalinya masyarakat kepada dasar-dasar
agama. Fundamentalisme adalah semacam Ideologi yang menjadikan agama sebagai
pegangan hidup oleh masyarakat maupun individu. Biasanya fundamentalisme akan
diiringi oleh radikalisme dan kekerasan ketika kebebasan untuk kembali kepada
agama tadi dihalangi oleh situasi sosial politik yang mengelilingi masyarakat.
Dalam konstelasi
politik Indonesia, masalah radikalisme Islam telah makin membesar karena
pendukungnya juga makin meningkat. Akan tetapi gerakan-gerakan ini terkadang
berbeda tujuan, serta tidak mempunyai pola yang seragam. Ada yang sekedar
memperjuangkan implementasi syari’at Islam tanpa keharusan mendirikan “negara
Islam”, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia:,
disamping yang memperjuangkan berdirinya “kekhalifahan Islam’, pola
organisasinya pun beragam, mulai dari gerakan moral ideologi seperti Majelis
Mujahidin Indonesia dan Hizbut tahrir Indonesia sampai kepada gaya militer
seperti Laskar Jihad, FPI dan FPISurakarta.[9]
Ketika kita melihat gerakan-gerakan keagamaan di
Indonesia, kita akan banyak menemukan beberapa karakter yang sama baik cara,
metode dan model yang sering mereka lakukan. Baik itu gerakan yang baru ataupun
yang lama. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar gerakan-gerakan yang diciptakan
untuk merespon aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan kehidupan sosial
politik yang bisa mendatangkan konsekuensi religiusitas tertentu. Hal ini bisa
terjadi, menurut Amin Rais (1984), karena Islam dari sejak kelahirannya
bersifat Revolusioner seperti bisa dilihat melalui sejarahnya.
Faktor-faktor Penyebab
dan Indikasi Radikalisme
Banyaknya
gerakan-gerakan radikalisme keagamaan yang akhir-akhir ini muncul ini karena
adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab. Antara lain[11] :
1. Variabel Norma dan Ajaran
Ajaran yang ada mempengaruhi tingkah lakudan tindakan
seorang muslim yang berasal dari Qur’an dan Hadis. (mungkin juga Ijma). Ajaran
ini diinterpretasikan dan diinternalisasi. Karan ajaran yang ada sangat umum,
hal ini memungkinkan munculnya beberapa interpretasi. Hal ini juga dimungkinkan
karena setiap anggota masyarakat muslim mengalami sosialisasi primer yang
berbeda, disamping pengalaman, pendidikan dan tingkatan ekonomi mereka juga
tidak sama. Dari hasil interpretasi ini memunuclkan apa yang diidealkan
berkaitan dengan kehidupan masyarakt Islam.
Secara umum ada tiga
kecenderungan yang menjadi indikasi radikalisme.[12] Pertama,
radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung,
biasanya respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan
perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau
nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kondisi
yang ditolak.
Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya
penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan bentuk
tatanan lain. Ciri ini menunjukan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu
program atau pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk
menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang ada. Dengan
demikian, sesuai dengan arti kata ‘radic’, sikap radikal mengandaikan keinginan
untuk mengubah keadaan secara mendasar.
Ketiga adalah kuatnya keyakinan kaum radikalis akan
kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama
dibarengi dengan panafian kebenaran sistem lain yang akan diganti dalam gerakan
sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering dikombinasikan
dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti
‘kerakyatan’ atau kemanusiaan . Akan tetapi kuatnya keyakinan tersebut dapat
mengakibatkan munculnya sikap emosional di kalangan kaum radikalis.
Radikalisme Islam Indonesia lahir dari hasil
persilangan Mesir dan Pakistan. Nama-nama seperti Hassan al-Banna, Sayyid Qutb
dan al-Maududi terbukti sangat memengaruhi pelajar-pelajar Indonesia yang
belajar di Mesir dan Pakistan. Pemikiran mereka membangun cara memahami Islam
ala garis keras. Setiap Islam disuarakan, nama mereka semakin melekat dalam
ingatan. Bahkan, sampai tahun 1970-1980-an ikut menyemangati perkembangan
komunitas usroh di banyak kampus atau organisasi Islam. Seperti FPI, HTI dan
PKS. Istilah radikalisme Islam kian menguat tak hanya pada matra tekstualitas
agama. Persentuhan dengan dunia kini, menuntut adanya perluasan gerakan. Mulai
dari sosio ekonomi, pendidikan hingga ranah politik.
E. Kesimpulan
Radikalisme merupakan
persoalan kompleksitas yang tidak berdiri sendiri. Hampir seluruhnya memiliki
pendasaran sangat politis dan ideologis. Layaknya sebuah ideologi yang terus
mengikat, radikalisme menempuh jalur agama untuk dapat membenarkan segala
tindakan anarki. Maka, Islam tak sama dengan radikalisme.
Radikalisme keagamaan sebenarnya fenomena yang biasa
muncul dalam agama apa saja. Radikalisme sangat berkaitan erat dengan
fundamentalisme, yang ditandai oleh kembalinya masyarakat kepada dasar-dasar
agama. Fundamentalisme adalah semacam Ideologi yang menjadikan agama sebagai
pegangan hidup oleh masyarakat maupun individu. Biasanya fundamentalisme akan
diiringi oleh radikalisme dan kekerasan ketika kebebasan untuk kembali kepada
agama tadi dihalangi oleh situasi sosial politik yang mengelilingi masyarakat.
Islam tidak pernah menawarkan
kekerasan atau radikalisme. Persoalan radikalisme selama ini hanyalah
permaianan kekuasaan yang mengental dalam fanatisme akut. Dalam sejarahnya,
radikalisme lahir dari persilangan sosial dan politik. Radikalisme Islam
Indonesia merupakan realitas tarikan berseberangan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar